Gagasan.co.id, Keuangan - Hampir setiap sarjana pasti membayangkan bakal bekerja di perusahaan terkemuka, khususnya yang berembel-embel multinasional. Hal itu juga yang sudah dilakukan oleh Andi Taufan Garuda Putra selepas lulus dari jurusan Manajemen Bisnis ITB pada 2008. Andi pun kemudian masuk sebagai karyawan perusahaan multinasional yang diminati banyak anak muda Indonesia, IBM.
Tapi ternyata niat Andi terbilang unik ketika bergabung dengan IBM. Ia bukan ingin mengejar prestise bekerja di perusahaan multinasional. Andi sedari awal bergabung justru ingin 'mencuri' ilmu dari perusahaan yang sudah berdiri sejak 1911 ini, khususnya soal manajemen. Ya, dari kuliah Andi ingin mempunyai usaha sendiri.
Dua tahun Andi bekerja di IBM, ia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri (resign) dari kantornya tersebut pada 2009. Selepas mengundurkan diri Andi mendirikan lembaga keuangan mikro bernama Amartha Microfinance di daerah Ciseeng, Bogor.
Bukan tanpa alasan Andi memilih daerah tersebut. Di pinggiran Bogor ini banyak masyarakat kelas bawah yang tak tersentuh lembaga keuangan modern yaitu bank.
Selain berbisnis, Andi mempunyai tujuan membantu golongan menengah ke bawah di daerah Ciseeng agar terbebas dari rentenir. Dalam sebuah perjalanan pada 2008 dia melihat rakyat kurang mampu di daerah Ciseeng yang bekerja sebagai petani maupun pedagang kecil banyak yang berutang kepada rentenir yang menerapkan bunga tinggi yang di kemudian hari justru menjadi masalah baru, karena mereka kesulitan untuk melunasi utang kepada rentenir.
Dengan modal tabungannya ia pun memulainya dengan meminjamkan dana lunak kepada lima orang peminjam. Seiring berjalannya waktu Andi pun mulai menemukan titik temu menjalankan usaha lembaga simpan pinjam ini. Berawal dari lima orang tersebut, Amartha sekarang sudah memiliki 5.000 nasabah.
Tapi bukan perkara mudah bagi Andi untuk memulai usaha ini. Pertama, ketika dia mengutarakan kepada keluarga, mereka tidak menyetujui rencana Andi ini.
Menurut keluarganya Andi seolah turun kelas dengan merintis usaha ini. Dari gedung perkantoran elit Jakarta, tiba-tiba dia harus “bergerilya” turun ke sawah atau ke pasar tradisional. Namun, akhirnya dia bisa meyakinkan keluarganya.
Niat dan kerja keras Andi akhirnya berbuah manis kemudian. Bermodal awal Rp 10juta dan hanya memiliki 5 nasabah, sekarang nasabahnya berlipat hingga seribu kali.
Dengan plafon pinjaman pertama Rp 1 juta, terbayang berapa omzet Amartha sekarang. Andi sendiri tak mau membuka berapa omzet total Amartha. Tapi dengan menghitung plafon pinjaman dan jumlah nasabah, jumlahnya pasti sudah mencapai miliaran rupiah.
Saat ini Amartha sudah memiliki lima cabang. Selain di Ciseeng, Amartha memiliki cabang di Tenjo, Jasinga, Bojong Gede dan Kemang. Saat ini Amartha sudah memilii 40 karyawan. Sebuah pencapaian yang luar biasa dilihat dari usia perusahaan yang belum terlalu lama.
Salah satu kunci penting Andi dan Amartha dalam mencapai sukses seperti sekarang ini adalah pemberdayaan komunitas. Sejak awal Amartha menetapkan target nasabah mereka adalah ibu-ibu dan itu masih berlaku sampai sekarang. Selain menetapkan targetnya ibu-ibu, Amartha menetapkan sistem komunitas dalam mengembangkan bisnisnya.
Para nasabah di Amartha tidak diminta untuk mengagunkan barangnya, tapi harus ikut dalam kelompok nasabah. Setiap kelompok terdiri dari 12 ibu-ibu dan dari 12 anggota tersebut dipilih seorang koordinator.
Koordinator tersebut bertugas mengontrol perputaran uang di kelompoknya. Jika ada salah satu anggota kelompok yang saat itu kekurangan biaya untuk membayar pinjaman, anggota lain akan patungan membantu orang tersebut dengan konsekuensi yang mereka tentukan sendiri.
Sistem ini membuat kontrol penyaluran maupun pembayaran kredit lebih kuat. Pengawasan dalam kelompok ini berguna untuk mengedukasi para anggota agar memiliki rasa keterikatan yang kuat, semangat tolong menolong sekaligus rasa tanggung jawab. Bila sebuah kelompok bisa mengembalikan pinjaman tepat waktu secara berkala, maka Amartha siap memberikan pinjaman dengan jumlah lebih besar secara berjenjang.
Cara ini bukan hanya meminimalisir risiko gagal bayar, tapi juga bisa menjadi kampanye word of mouth bagi Amartha. Ketika satu kelompok bisa berjalan dengan baik dan tidak ada masalah dalam kelompok tersebut, maka akan menarik orang lain untuk mengikuti cara ini dan bergabung menjadi nasabah Amartha.
Nilai tambah yang diberikan oleh Amartha adalah edukasi kepada para nasabah. Amartha selalu memberikan konsultasi dan edukasi kepada nasabah. Misalnya mereka meminjam untuk usaha, Amartha akan membantu memberikan solusi uang itu untuk usaha apa.
“Intinya Amartha membuka peluang bagi para ibu-ibu untuk berkreasi dan mengembangkan kemampuannya dalam berwirausaha, tapi terbatas dalam masalah modal dengan sistem pinjaman tanpa jaminan,” ucap Andi.
Kerja keras Andi terbayar sudah saat ini. Bukan hanya jumlah nasabah yang bertambah, bermacam penghargaan pun mereka terima. Ia beberapa kali mendapat penghargaan seperti Finalis Indonesia MDGs Awards, Finalis IPA Social Innovations and Enterpreneurship (Solve) Award, Penerima SATU Indonesia Award, Finalis Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), Penerima Ashoka Young Change Makers Awards, dan terakhir Muda Berkarya. (owi/dtk)